Peran RTLM dalam Genosida di Rwanda
Inrofaa - Radio Télévision Libre des Mille Collines (RTLM) adalah salah satu contoh paling terkenal tentang bagaimana media dapat digunakan untuk memicu konflik dan kekerasan massal. RTLM berdiri pada tahun 1993 di Rwanda, pada masa ketika ketegangan antara dua kelompok etnis utama (Hutu dan Tutsi) sudah berlangsung lama akibat sejarah kolonial, diskriminasi, dan persaingan politik. Meskipun awalnya diperkenalkan sebagai stasiun radio “bebas” yang menyajikan hiburan dan berita alternatif, RTLM kemudian berubah menjadi alat propaganda yang sangat berbahaya.
RTLM dikenal karena gaya penyiarannya yang santai, penuh humor, musik, dan bahasa sehari-hari. Hal ini membuat masyarakat merasa dekat dengan para penyiar, sehingga pesan apa pun yang disampaikan terdengar lebih meyakinkan. Namun, di balik suasana santai itu, RTLM perlahan mulai menyiarkan pesan-pesan yang melecehkan kelompok Tutsi. Mereka menggunakan bahasa dehumanisasi, menyebut Tutsi sebagai “kecoak,” “musuh bangsa,” atau ancaman bagi masa depan Rwanda. Cara ini secara psikologis membuat orang-orang mulai melihat Tutsi bukan sebagai sesama warga negara, tetapi sebagai target yang sah untuk disingkirkan.
Ketika konflik politik memanas (terutama setelah pesawat presiden Rwanda ditembak jatuh pada April 1994) RTLM mengambil peran yang lebih agresif. Radio ini secara terbuka menyerukan tindakan kekerasan, mendorong warga Hutu untuk “membersihkan lingkungan” dari Tutsi. Bahkan, penyiar RTLM sering menyebutkan nama individu, alamat, atau lokasi persembunyian orang-orang yang dianggap sebagai target. Pada masa itu, radio transistor sangat umum digunakan, sehingga pesan RTLM dengan cepat menyebar ke berbagai pelosok desa. Milisi yang membawa senjata sering mengandalkan siaran ini untuk menemukan korban.
Propaganda RTLM tidak hanya memicu kebencian, tetapi juga berperan sebagai alat koordinasi dalam menjalankan aksi kekerasan. Kombinasi antara tekanan sosial, ajakan langsung, dan dehumanisasi membuat banyak warga biasa ikut terlibat dalam pembunuhan. Dalam beberapa bulan, sekitar 800.000 orang (kebanyakan Tutsi dan sebagian Hutu moderat) menjadi korban genosida.
Setelah tragedi berakhir, peran RTLM menjadi perhatian dunia. Pengadilan internasional mengusut para pendiri, penyiar, dan pihak-pihak yang terlibat dalam operasional radio tersebut. Mereka dinyatakan bersalah karena menggunakan media sebagai alat untuk mendorong kebencian dan kekerasan yang berujung pada genosida. Putusan ini menjadi landasan penting dalam hukum internasional, menunjukkan bahwa penyalahgunaan media dapat dikategorikan sebagai kejahatan serius.
Kasus RTLM sering dijadikan contoh tentang betapa kuatnya pengaruh media dalam membentuk opini publik, terutama ketika masyarakat sedang berada dalam kondisi tegang dan rentan. Media dapat menjadi alat edukasi dan persatuan, tetapi juga dapat menjadi pemicu perpecahan jika dikendalikan oleh kelompok yang memiliki agenda ekstrem. Tragedi Rwanda mengingatkan dunia bahwa ujaran kebencian, disinformasi, dan propaganda bukan sekadar kata-kata, melainkan mereka dapat berubah menjadi kekerasan nyata dan kehilangan nyawa dalam skala besar.
Referensi : Tirto.id (2020), Jurnal University of Dschang (2023), Liputan6.com (2024)
Baca Juga :
Hubungi Admin? Klik di sini
Salam Ilmu Pengetahuan
Terima kasih
Komentar